Langsung ke konten utama

PENSIUN DARI DAKWAH




 Aunur Rafiq Saleh Tamhid 

( Coach Sekolah Kepenulisan Dakwah 2)


Orang pensiunan, dalam bahasa Arab disebut mutaqo'id / متقاعد (orang yang sebelumnya bekerja kemudian berhenti bekerja). Kata asalnya qo'ada / قعد yakni duduk. Kata bendanya qu'ud قعود. Diantara arti قعد adalah duduk setelah sebelumnya berdiri. Atau meninggalkan sesuatu. Atau tidak mau aktif melakukan sesuatu. Fenomena ini bila terjadi di dunia dakwah disebut penyakit qu'ud / قعود.


Di dalam al-Qur'an, orang yang tidak mau aktif berdakwah dan berjuang menegakkan ajaran Islam disebut dengan "قاعدون " (orang-orang yang duduk berpangku tangan). Allah berfirman,


قَا لُوْا  يٰمُوْسٰۤى  اِنَّا  لَنْ  نَّدْخُلَهَاۤ  اَبَدًا  مَّا  دَا مُوْا  فِيْهَا  فَا ذْهَبْ  اَنْتَ  وَرَبُّكَ  فَقَا تِلَاۤ  اِنَّا  هٰهُنَا  قَا عِدُوْنَ


 "Mereka berkata, Wahai Musa! Sampai kapan pun kami tidak akan memasukinya selama mereka masih ada di dalamnya, karena itu pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami tetap duduk (menanti) di sini saja." (QS. Al-Ma'idah: 24)


Sebagian Bani Israil yang menyebut diri sebagai qo'idun ( قاعدون) adalah mereka yang tetap duduk dan enggan ikut berjuang di saat saudara-saudara mereka aktif berjuang bersama Nabi Musa as. Al-Quran mencela sikap dan tindakan ini dalam ayat yang lain serta menjadikannya sebagai salah satu karakter orang-orang munafik. Allah berfirman,


اَلَّذِيْنَ  قَا لُوْا  لِاِ خْوَا نِهِمْ  وَقَعَدُوْا  لَوْ  اَطَا عُوْنَا  مَا  قُتِلُوْا  ۗ قُلْ  فَا دْرَءُوْا  عَنْ  اَنْفُسِكُمُ  الْمَوْتَ  اِنْ كُنْتُمْ  صٰدِقِيْنَ


 "(Mereka itu adalah) orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang, Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh. Katakanlah, Cegahlah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang yang benar." (QS. Ali 'Imran: 168)


Di ayat yang lain Allah menyebut sikap dan tindakan duduk bermalas-malasan tidak mau aktif berjuang atau berdakwah sebagai tindakan mendustakan Allah dan Rasul-Nya.


وَ  جَآءَ  الْمُعَذِّرُوْنَ  مِنَ  الْاَ عْرَا بِ  لِيُؤْذَنَ  لَهُمْ  وَقَعَدَ  الَّذِيْنَ  كَذَبُوا  اللّٰهَ  وَرَسُوْلَهٗ  ۗ سَيُصِيْبُ  الَّذِيْنَ  كَفَرُوْا  مِنْهُمْ  عَذَا بٌ  اَ  لِيْمٌ


 "Dan di antara orang-orang Arab Badui datang (kepada Nabi) mengemukakan alasan, agar diberi izin (untuk tidak pergi berperang), sedang orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam. Kelak orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa azab yang pedih." 

(QS. At-Taubah: 90)


 Ada beberapa fenomena atau bentuk qu'ud (قعود ) ini, diantaranya seorang da'i meninggalkan dakwah dengan senyap tanpa berisik, sekalipun tetap istiqamah secara pribadi. Umumnya fenomena ini tidak banyak. Fenomena lainnya, berhenti berdakwah disertai dengan menyerang saudara-saudaranya yang aktif memperjuangkan agama Allah. Ada juga yang berhenti berdakwah lalu berusaha menggagalkan perjuangan dakwah dengam berbagai cara di berbagai forum. 


Berbagai fenomena tersebut muncul sebagai akibat dari penyakit قعود yang ada di dalam dirinya. Penyakit ini umumnya memunculkan penyakit-penyakit lain yang sangat berbahaya dan jarang disadari pelakunya. Allah berfirman,


فِيْ  قُلُوْبِهِمْ  مَّرَضٌ  ۙ فَزَا دَهُمُ  اللّٰهُ  مَرَضًا  ۚ وَلَهُمْ  عَذَا بٌ  اَلِيْمٌ  ۙ بِۢمَا  كَا نُوْا  يَكْذِبُوْنَ


 "Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang pedih karena mereka berdusta." (QS. Al-Baqarah: 10)


Fenomena tersebut muncul bisa jadi semacam hukuman Allah karena mengingkari nikmat yang telah dikaruniakan kepada mereka, yaitu berupa nikmat telah diantarkan Allah menjadi da'i yang berjuang menegakkan agama Allah. 


Tampaknya Allah tidak memberi waktu "pensiun" dari dakwah, selagi masih mampu melakukannya. Ini bisa kita fahami dari sebab turunnya ayat berikut:


وَاَ نْفِقُوْا  فِيْ  سَبِيْلِ  اللّٰهِ  وَلَا  تُلْقُوْا  بِاَ يْدِيْكُمْ  اِلَى  التَّهْلُكَةِ  وَاَ حْسِنُوْاۛ اِنَّ  اللّٰهَ  يُحِبُّ  الْمُحْسِنِيْنَ


 "Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik."(QS. Al-Baqarah: 195)


Dari Aslam Abu Imran At-Tujibi ia berkata, ketika kami (pasukan kaum muslimin) berada di Romawi, musuh mengerahkan pasukan dengan jumlah yang sangat besar untuk menghadapi kami. Maka kami juga mengerahkan sejumlah pasukan yang sama atau lebih banyak untuk  melawan mereka. Pasukan dari Mesir dipimpin 'Uqbah bin Amir, sedangkan sisanya dipimpin oleh Fadlalah bin 'Ubaid. Kemudian seorang lelaki dari kaum muslimin bergegas maju menerobos barisan pasukan Romawi, orang-orang berteriak dan mengatakan: "Subhanallah, dia telah menjerumuskan dirinya kepada kebinasaan".


Maka bangkitlah Abu Ayyub Al-Anshari dan berkata; "Wahai manusia, sesungguhnya kalian telah menakwilkan ayat ini, ketahuilah bahwa ayat ini turun kepada kami, orang-orang Anshar. Yaitu ketika Allah telah memuliakan Islam dan banyak penolong, kemudian sebagian dari kami berbisik kepada yang lain tanpa diketahui oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "sesungguhnya harta-harta kita telah hilang dan sesungguhnya Allah telah memuliakan Islam dan sudah banyak penolongnya, bagaimana jika kita mengurusi harta kita dan memperbaiki yang hilang", lantas Allah berfirman:


وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ


"Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan". – (QS Al-Baqarah: 195)


" At-Tahlukah " dalam ayat ini berarti al-iqamah (tinggal diam) untuk mengurusi harta dan memperbaikinya, kemudian kita meninggalkan perang.


Lantas Abu Ayyub terus merangsek masuk menuju jantung pasukan Romawi dalam rangka berjihad di jalan Allah hingga syhahid dan dikebumikan di Romawi. Abu Isa berkata: Hadits ini hasan shahih gharib. (Sunan Tirmidzi 2898)


 Allah tidak mengijinkan sebagian orang Anshar berhenti atau pensiun dari dakwah dengan alasan memperbaiki ekonomi. Karena dakwah tidak pernah menjadi penghambat kemajuan apa pun dalam kehidupan para da'i. Bahkan dakwah menjadi nilai tambah keberkahan bagi semua aktivitas dan kehidupan. Berhenti atau pensiun dari dakwah, bagi mereka yang telah diantarkan Allah ke jalan dakwah, identik dengan mencampakkan diri ke dalam kebinasaan. 


 #Narasiuntuksivilisasi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Salam...

Menuju peradaban yang diinginkan seluruh manusia, semestinya memenuhi siklus:  Refleksi sejarah, Konteks kekinian dan Gagasan masa depan. Dari ketiga unsur ini, ada satu kesamaan, yaitu kebutuhan akan narasi. Paling tidak, jangan sampai kita semua tersesat pada jalan yang berkebalikan, yakni alih-alih membangun peradaban, malah justru memundurkan peradaban karena salah dalam menerjemahkan   core   (inti) dari setiap unsur pembangun peradaban itu sendiri. Dalam Islam, kita mengenal istilah adab sebelum ilmu, ilmu sebelum 'amal dan menariknya kita perlu mengetahui sekaligus mengerjakan 'amaliyah yang menguatkan adab. Disinilah titik yang mempertemukan ketiganya, yaitu narasi.  Pembaca, selamat menikmati:  narasi untuk sivilisasi

MENGULIK ALASAN

  Epit Rahmayati (Coach Sekolah Kepenulisan Dakwah 2) Ia tersadar telah tertinggal dalam perang Tabuk. Bukan, bukan karena ketidak mampuannya ia tertinggal. Bahkan ia merasa dalam kondisi sangat prima dengan perbekalan memadai. Namun, ia tertinggal karena tak mampu menepis bisikan yang merayu, meniup-niupkan kata 'nanti', hingga ia benar-benar tertinggal! Ia malu, malu pada diri, malu pada sekitar dan tentu malu pada Allah dan Rasul-Nya. Dari sekian yang tertinggal kebanyakan orang-orang yang memang secara syar'i  diperbolehkan tinggal dan atau orang yang terindikasi dalam kemunafikan. Inginnya Ka'ab merangkai kata, menyusun ba'it. Pada saat Nabi meminta alasan. Ka'ab pasti sanggup, ia termasuk pemuka kaum, orator ulung pandai bernegosiasi. Tapi, tidak! Ka'ab tak kuasa. Lidahnya kelu tertahan nurani kejujuran. Ia tertunda dari Tabuk, karena terpesona keadaan, menjustifikasi kata 'nanti' hingga menyeret pada kelalaian. Ka’ab bin Mâlik, Hilal bin Umayy...

DERITA HASAD

 Epit Rahmayati (Coach Sekolah Kepenulisan Dakwah) Terpuruk dalam kubangan nista. Kala dengki menyentuh sukma. Memendam benci, di batas yang tak pernah pasti. Sampai pada rasa hasad melenyapkan belas asih. Meski Qabil sadar Habil adalah bagian nasabnya, bersaudara dari bapak yang sama. Namun nafsu amarah tak bisa dicegah. Tatkala persembahan Habil diterima, sementara pemberiannya terjelembab dalam kedustaan hati, tak laik uji.  "Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil), “Aku pasti membunuhmu! ” Berkata Habil, “Sesungguhnya Allâh hanya menerima (ibadah kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Maidah: 27) Angkara kian memuncak, saat iblis turut membisik prasangka. Nafsu melenyapkan Habil semakin menjadi. Akumulasi hasad menari di benak. Membangkit dendam, yang ...