Langsung ke konten utama

MENGULIK ALASAN




 Epit Rahmayati

(Coach Sekolah Kepenulisan Dakwah 2)


Ia tersadar telah tertinggal dalam perang Tabuk. Bukan, bukan karena ketidak mampuannya ia tertinggal. Bahkan ia merasa dalam kondisi sangat prima dengan perbekalan memadai. Namun, ia tertinggal karena tak mampu menepis bisikan yang merayu, meniup-niupkan kata 'nanti', hingga ia benar-benar tertinggal!


Ia malu, malu pada diri, malu pada sekitar dan tentu malu pada Allah dan Rasul-Nya. Dari sekian yang tertinggal kebanyakan orang-orang yang memang secara syar'i  diperbolehkan tinggal dan atau orang yang terindikasi dalam kemunafikan.


Inginnya Ka'ab merangkai kata, menyusun ba'it. Pada saat Nabi meminta alasan. Ka'ab pasti sanggup, ia termasuk pemuka kaum, orator ulung pandai bernegosiasi. Tapi, tidak! Ka'ab tak kuasa. Lidahnya kelu tertahan nurani kejujuran. Ia tertunda dari Tabuk, karena terpesona keadaan, menjustifikasi kata 'nanti' hingga menyeret pada kelalaian. Ka’ab bin Mâlik, Hilal bin Umayyah dan Murarah bin Rabi, tak beniat melakukan pleidoi (pembelaan). Berbeda dengan sebagian lainnya.


Sama halnya seperti Ka'ab. Terkadang batin berkecamuk saat memutus sebuah alasan. Terlebih alasan berpotensi mengancam reputasi sampai taraf ancaman pada jiwa. Inginnya refleks mencari pembenaran, hingga layak sebagai sebuah permakluman.


 Tapi Ka'ab menginspirasi. Berpikir sejenak, menimbang dan mengulik dasar hati sebelum memutus. Hingga akhirnya menelurkan integritas berargumentasi, sebuah kejujuran. 


Mengutip apa yang pernah ditulis KH. Rahmat Abdullah dalam buku Untukmu Kader Dakwah " Hakekat shidiq bahwa engkau tetap jujur dalam berbagai kondisi (sulit dan bahaya), padahal engkau hanya dapat selamat dari hal tersebut dengan berdusta... "


Ka'ab tahu konsekuensi, keterasingan di negeri sendiri dalam masa pemboikotan sekitar 50 hari bukan tanpa rasa, menyakitkan. Ditambah ujian musuh islam mendekat, iming-iming suaka dari raja Ghassan, kerajaan Kristen Arab kuno di Levant cukup menggiurkan.Tapi Ka'ab dan dua sahabat lainnya berusaha bersabar menunggu keputusan Nabi.


Kata 'nanti' berujung penundaan terhadap amal, melilit hampir semua kalangan, termasuk para ulama dan da'i. Abu Hurairah r.a mengilustrasikan orang lalai dengan orang yang memasuki masjid namun janggutnya digayuti setan. Dan kemudian dipaksa hanya untuk memandangi langit-langit atap masjid, hingga terlalaikan dari mengingat Allah.


Herannya diri enggan mengakui ketika lalai membelenggu. Berpayah-payah mengolah asumsi hingga alasan masuk akal meninggalkan satu kesempatan beramal. Ironinya lagi, menggeneralisasi alasan dalam satu kurun global, hingga terkesan tak ada celah yang bisa diberdayakan untuk berbuat.


Ladang beramal areanya sangat luas. Dari hal kecil sampai urusan besar, meski takaran amal pada akhirnya bukan terletak pada besar kecilnya peran yang diambil. Tapi merujuk pada kualitas benar dan ikhlas serta profesionalitas dalam mengelolanya. 


Beruntung para da'i masih memiliki majelis pengingat diri. Menempa energi, menyuplai kekeringan jiwa yang acapkali terjadi, hingga mempersempit celah lalai. Maka tak heran para salafus shahih memberikan perhatian lebih pada majelis ilmu dan dzikir.


Suatu hari, khalayak pernah dibuat terheran atas perilaku Sa'id bin Mussayab yang duduk serius memperhatikan seorang budak yang tengah mengajarinya dalam sebuah majelis. Keganjilan ini membuat orang bertanya, karena jelas orang paham siapa Sa'id bin Mussayab, ulama terkemuka dengan keluasan ilmunya. Sungguh mengesankan apa yang menjadi alasannya. " Karena aku tahu, sesungguhnya Allah akan menaungi rahmat-Nya pada majelis seperti ini, dan aku ingin memperoleh bagiannya. Terhadap majelis itu Allah berkata " Keluarlah kalian dalam majelis dalam keadaan terampuni dari dosa-dosa, Aku rahmati dan Aku ridhai!" Meskipun para malaikat protes bahwa diantara yang hadir ada yang memiliki maksud lain, tidak karena Allah semata. 


Namun, lagi-lagi diri sulit mensyukuri. Nikmat bergabung dalam majelis, terkadang menjadi agenda sambilan dengan segudang alasan untuk tidak menghadirinya. Andai diri mampu mengulik jujur, sejatinya alasan masih bisa dihindari karena banyak hal yang masih bisa tersiasati. 


Berkaca pada Ka'ab dan dua lainnya, keterlanjurannya melakukan khilaf atas kelalaian, sengaja Allah pentaskan sebagai ibrah langkah antisipasi untuk menghindarkan diri dari kelenaan yang menjebak pada wilayah kelesuan dalam beramal. Karena tidak semua bisa seperti Ka'ab bila menghadapi situasi kelalaian. Menang dalam kompetisi melawan dusta hati dan sukses menjalani masa kesempitan ujian demi penegakan integritas diri. Kompensasinya Allah langsung yang memberikan apresiasi. Sementara nasib tragis pada orang yang memanipulasi alasan, mendapat gelar munafikun.


 "Artinya: Dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah; adakalanya Allah akan mengazab mereka dan adakalanya Allah akan menerima taubat mereka. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." ( At Taubah 106)


 "Dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang." (At Taubah: 118)


 #Narasiuntuksivilisasi


Referensi:


* Nawawi Imam, Tarjamah Riyadhus Shalihin, 2003, Surabaya, Duta Ilmu. 

 

* Abdullah, Rahmat, Untukmu Kader Da'wah, 2004, Jakarta, Pusaka Da'watuna. 


* Bin Abdullah Al Qarni, Aidh, Obat Penyakit Hati, 1994, Jakarta, Pustaka Al Kautsar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Salam...

Menuju peradaban yang diinginkan seluruh manusia, semestinya memenuhi siklus:  Refleksi sejarah, Konteks kekinian dan Gagasan masa depan. Dari ketiga unsur ini, ada satu kesamaan, yaitu kebutuhan akan narasi. Paling tidak, jangan sampai kita semua tersesat pada jalan yang berkebalikan, yakni alih-alih membangun peradaban, malah justru memundurkan peradaban karena salah dalam menerjemahkan   core   (inti) dari setiap unsur pembangun peradaban itu sendiri. Dalam Islam, kita mengenal istilah adab sebelum ilmu, ilmu sebelum 'amal dan menariknya kita perlu mengetahui sekaligus mengerjakan 'amaliyah yang menguatkan adab. Disinilah titik yang mempertemukan ketiganya, yaitu narasi.  Pembaca, selamat menikmati:  narasi untuk sivilisasi

DERITA HASAD

 Epit Rahmayati (Coach Sekolah Kepenulisan Dakwah) Terpuruk dalam kubangan nista. Kala dengki menyentuh sukma. Memendam benci, di batas yang tak pernah pasti. Sampai pada rasa hasad melenyapkan belas asih. Meski Qabil sadar Habil adalah bagian nasabnya, bersaudara dari bapak yang sama. Namun nafsu amarah tak bisa dicegah. Tatkala persembahan Habil diterima, sementara pemberiannya terjelembab dalam kedustaan hati, tak laik uji.  "Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil), “Aku pasti membunuhmu! ” Berkata Habil, “Sesungguhnya Allâh hanya menerima (ibadah kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Maidah: 27) Angkara kian memuncak, saat iblis turut membisik prasangka. Nafsu melenyapkan Habil semakin menjadi. Akumulasi hasad menari di benak. Membangkit dendam, yang ...