Langsung ke konten utama

DERITA HASAD




 Epit Rahmayati

(Coach Sekolah Kepenulisan Dakwah)


Terpuruk dalam kubangan nista. Kala dengki menyentuh sukma. Memendam benci, di batas yang tak pernah pasti. Sampai pada rasa hasad melenyapkan belas asih.


Meski Qabil sadar Habil adalah bagian nasabnya, bersaudara dari bapak yang sama. Namun nafsu amarah tak bisa dicegah. Tatkala persembahan Habil diterima, sementara pemberiannya terjelembab dalam kedustaan hati, tak laik uji.


 "Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil), “Aku pasti membunuhmu! ” Berkata Habil, “Sesungguhnya Allâh hanya menerima (ibadah kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Maidah: 27)


Angkara kian memuncak, saat iblis turut membisik prasangka. Nafsu melenyapkan Habil semakin menjadi. Akumulasi hasad menari di benak. Membangkit dendam, yang tersimpan di lubuk terdalam.


 “Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allâh, Rabb sekalian alam." ( QS. Al Maidah: 28)


Habil bersabar, iman di dada menitah demikian. Meski disebut sebagai orang yang lebih tangguh, ia berupaya menahan. Tak turut nafsu yang menjebak pada kesengsaraan diri. 


" Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang rugi." ( Qs. Al Maidah: 30)


Qabil bingung, gerangan apa yang harus diperbuat terhadap jasad sang adik. Pikiran kacau hati gelisah. Merambah sesal karena kerugian yang diperoleh.


 "Kemudian Allah mengutus seekor burung gagak menggali tanah untuk diperlihatkan kepadanya (Qabil). Bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Qabil berkata, “Oh, celaka aku! Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, sehingga aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Maka jadilah dia termasuk orang yang menyesal.” (QS.Al-Ma’idah:31)


Menarik ketika gagak diutus. Ditilik dari ilmu zoologi, gagak tergolong pemangsa cerdas, dengan volume otak lebih besar dari kebanyakan burung lain. Dibalik kecerdasannya, reputasi negatif melekat pada gagak. Pemakan bangkai, kanibal terhadap gagak yang sudah tua dan terkadang sebagai provokator predator lain untuk memangsa hewan buruan. Tentu maksud jelas, agar gagak turut mencicipi sisa bangkai  yang ditinggalkan.


Penelitian di Amerika menyebut burung gagak termasuk jenis hewan pendendam. Gagak dapat menandai orang yang pernah menyakitinya. Baik dari penampilan maupun wajah, meski dalam waktu cukup lama. Uniknya gagak yang tersakiti akan melatih gagak lain untuk bisa mengidentifikasi orang yang menyakitinya.[2]


Menakjubkan Allah mengirim simbol berupa burung gagak. Disamping sebagai pembuktian segala yang dicipta memiliki faedah, dari gagak juga terilustrasi beberapa karakter yang melatari manusia berbuat aniaya. Bagai isyarat tambahan agar insan menjauh dari sifat yang demikian.


Hasad menjadi motif Qabil menghabisi nyawa Habil. Hasad bermakna ketika iri hati menghinggapi hingga hadir rasa benci. Inginnya nikmat orang lain hilang dan atau berpindah menjadi miliknya. Menempuh cara nista, tanpa peduli nilai rasa.


 Percikan hasad  berawal dari jumawa. Merasa diri hebat sementara yang lain tiada. Hasad adalah dosa pertama menimpa iblis tatkala Nabi Adam as dicipta. Hasad juga yang menggiring saudara-saudara Nabi Yusuf as berlaku aniaya hingga berkehendak menyingkirkan dan membunuhnya. 


 Sungguh hasad mampu menelan kebaikan, sebagaimana api yang melahap kayu bakar. Merusak ketentraman hati, dirundung kedengkian tak berujung. Meratapi hari,  mengutuki hal tak pasti, hingga waktu berlalu, hampa. 


Dahulu, ada seorang zindiq  (orang yang tersesat imannya) ibnu Ar Raiwandi. Ia kaya, tapi sejatinya miskin dengan kekikirannya. Ia pintar, padahal sesungguhnya bebal, karena seringnya menentang syari'at Allah.


Terperangah ia, ketika suatu waktu melihat kenyataan, mantan budaknya beroleh  kekayaan melimpah. Hati memanas, terselubung iri dan dengki.


Dalam amarah, keluarlah ia. Di tanah lapang, ditengadahkan tangan dengan wajah menatap langit, seraya berujar "Aku Ibnu Ar Raiwandi, seorang jenius  ulung, mengapa Kau berikan kekayaan pada seorang budak? Sementara aku? Dimana letak keadilan-Mu?"[3]


Pada ujungnya, hasad jualah menjadi bagian dari lima musuh dihadapan,  sebagai batu ujian yang melingkupi orang-orang beriman.


 “Setiap mukmin dihadapkan pada lima ujian; mukmin yang mendengkinya, munafik yang membencinya, kafir yang memeranginya, nafsu yang menentangnya, dan setan yang selalu menyesatkannya.” (HR ad-Dailami).


 #Narasiuntuksivilisasi#


Referensi:


* Katsir, Ibnu, Tafsir Al Qur'an, Jakarta, Maghfirah Pustaka 


* Delfiah, Filla dkk, Prilaku Burung Gagak dalam Perspektif Al Qur'an dan Sains, https://osf 


* bin Abdullah al Qarni, Aidh, Obat Penyakit Hati, 1994, Jakarta, Pustaka al Kautsar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Salam...

Menuju peradaban yang diinginkan seluruh manusia, semestinya memenuhi siklus:  Refleksi sejarah, Konteks kekinian dan Gagasan masa depan. Dari ketiga unsur ini, ada satu kesamaan, yaitu kebutuhan akan narasi. Paling tidak, jangan sampai kita semua tersesat pada jalan yang berkebalikan, yakni alih-alih membangun peradaban, malah justru memundurkan peradaban karena salah dalam menerjemahkan   core   (inti) dari setiap unsur pembangun peradaban itu sendiri. Dalam Islam, kita mengenal istilah adab sebelum ilmu, ilmu sebelum 'amal dan menariknya kita perlu mengetahui sekaligus mengerjakan 'amaliyah yang menguatkan adab. Disinilah titik yang mempertemukan ketiganya, yaitu narasi.  Pembaca, selamat menikmati:  narasi untuk sivilisasi

MENGULIK ALASAN

  Epit Rahmayati (Coach Sekolah Kepenulisan Dakwah 2) Ia tersadar telah tertinggal dalam perang Tabuk. Bukan, bukan karena ketidak mampuannya ia tertinggal. Bahkan ia merasa dalam kondisi sangat prima dengan perbekalan memadai. Namun, ia tertinggal karena tak mampu menepis bisikan yang merayu, meniup-niupkan kata 'nanti', hingga ia benar-benar tertinggal! Ia malu, malu pada diri, malu pada sekitar dan tentu malu pada Allah dan Rasul-Nya. Dari sekian yang tertinggal kebanyakan orang-orang yang memang secara syar'i  diperbolehkan tinggal dan atau orang yang terindikasi dalam kemunafikan. Inginnya Ka'ab merangkai kata, menyusun ba'it. Pada saat Nabi meminta alasan. Ka'ab pasti sanggup, ia termasuk pemuka kaum, orator ulung pandai bernegosiasi. Tapi, tidak! Ka'ab tak kuasa. Lidahnya kelu tertahan nurani kejujuran. Ia tertunda dari Tabuk, karena terpesona keadaan, menjustifikasi kata 'nanti' hingga menyeret pada kelalaian. Ka’ab bin Mâlik, Hilal bin Umayy...