Langsung ke konten utama

Narasi Kemerdekaan Sejati

 


Djoko P. Abdullah


Negeri ini masih dicekik ribuan triliun utang berbunga haram. Jika negeri ini telah mampu melunasi utang itu, silakan teriak merdeka! Jika belum mampu, lebih baik diam dan berpikir. Malu kita.


Banyak anak negeri yang hanya jadi babu di negeri orang. Mereka sering kali disiksa dan dianiaya. Jika negeri ini belum mampu memulangkan mereka, memberi pekerjaan layak, dan menyejahterakan, jangan teriak merdeka! Lebih baik diam dan berpikir. Malu kita.


Penggalan puisi Taufik Ismail telah menyadarkan kita. 79 tahun merdeka, namun menyisakan persoalan yang sangat elementer bagi sebuah bangsa yang berdaulat. Andaikan The Founding Fathers menyaksikan tragedi ini, mungkin mereka juga tidak menyangka akan begini jadinya negeri yang diperjuangkan dengan keringat, darah, dan air mata.


Sedikit kita simak apa yang pernah disampaikan Presiden Soekarno saat meresmikan Akademi TNI Angkatan Laut pada tahun 1953:


"Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawala samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri."


Seharusnya, pidato Presiden Soekarno tersebut dapat menjadi doktrin bagi Putra-Putri Bangsa Indonesia selama ini untuk menciptakan kembali kejayaan bahari Indonesia.


Sekarang kita simak apa yang diperagakan para Pahlawan Islam ketika mereka mereguk Makna Kemerdekaan sejati. Para Pahlawan ini telah memperagakan model manusia dengan kemerdekaan yang berwibawa, yang membuat orang begitu berdecak kagum dengan apa yang mereka peragakan di muka bumi ini.


Menjelang terjadinya perang Qudisiyah, ada sahabat yang diutus kepada komandan Persia, Rustum. Sahabat itu berkata:


"إن الله ابتعثنا لنخرج من عبادة العباد إلى عبادة رب العباد، ومن ضيق الدنيا إلى سعتها، ومن جور الأديان إلى عدل الإسلام."


"Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan terhadap sesama hamba kepada penghambaan kepada Allah, dari kesempitan dunia kepada keluasannya, dari kezaliman agama-agama kepada keadilan al-Islam. Maka Dia mengutus kami dengan agama-Nya untuk kami seru mereka kepada-Nya. Maka barangsiapa yang menerima hal tersebut, kami akan menerimanya dan pulang meninggalkannya. Tetapi barangsiapa yang enggan, kami akan memeranginya selama-lamanya hingga kami berhasil memperoleh apa yang dijanjikan Allah."


Simak baik-baik perkataan sahabat ini. Kata-kata ini mengandung kebebasan dan membebaskan; kemerdekaan dan memerdekakan; keadilan dan menegakkan keadilan. Bila ketiga unsur ini dimiliki oleh manusia, tentu saja ia akan menemukan hakikat kemerdekaan sejati.


Dari mana gerangan kalimat berwibawa  ini? Kata-kata ini keluar dari seorang sahabat mulia bernama Rib’i bin Amir Ats-Tsaqafi.


Kalimat itu keluar ketika ia diutus Sa’ad bin Abi Waqash untuk menemui panglima perang Persia yang bernama Rustum. Dengan pakaian alakadarnya dan sangat bersahaja, Rib’i mendatangi markas Rustum. Waktu itu sudah disiapkan perhiasan seperti permadani dan emas sebagai suatu kebanggaan mereka.


Rib’i sama sekali tak silau dan kagum dengan semua itu. Ia menambatkan kuda pendeknya seraya masuk sambil membawa tombak dan baju perangnya. Ketika mengetahui hal itu, para pengawal Rustum marah bukan main lalu menyuruh Rib’i meletakkan senjatanya.


Rib’i menolak dan berkata, “Aku datang bukan karena keinginanku, tetapi kalianlah yang mengundangku. Jika kalian tak berkenan dengan kondisiku yang seperti ini, maka aku akan meninggalkan tempat ini sekarang juga.”


Lihat betapa Izzah seorang Rib’i begitu besar sehingga Rustum pun membolehkannya tetap masuk, padahal tombak Rib’i merusak hiasan yang dipersiapkan. Rustum pun bertanya, “Apa misi kalian datang ke sini?” Kemudian dijawab oleh Rib’i dengan jawaban seperti di atas tadi.


Kaum Muslimin tentu tak asing lagi dengan nama sosok sahabat Rasul Saw yang satu ini, karena dia adalah muadzin pertama pilihan Rasulullah Saw, Bilal bin Rabah. Kita tidak akan membahas soal kemerduan suara saat mengumandangkan adzan, namun akan mencoba mengajak pada sisi kemerdekaan jiwa seorang anak manusia bernama Bilal bin Rabah.


Status Bilal berangkat bukan dari anak pejabat, tajir, bangsawan berdarah biru, atau pimpinan partai politik. Tapi Bilal berangkat dari sosok yang dilahirkan dari seorang ibu bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam, sehingga Bilal sering dipanggil dengan sebutan "ibnus-Sauda" (anak wanita hitam).


Bilal seorang budak hitam yang tidak memiliki sederet gelar akademik, atau kyai yang bersorban, apalagi menjadi penjilat yang mengemis jabatan. Namun sosok Bilal adalah berstatus budak yang masih di bawah kendali majikannya, namun beliau memiliki kemerdekaan jiwa yang sejati.


Sang majikan bisa berbuat apa saja, termasuk menyiksa Bilal untuk kembali ke keyakinan nenek moyangnya. Namun, Bilal tetap teguh mempertahankan kemerdekaan jiwanya untuk tetap mengucapkan, "Ahad... Ahad..." di tengah siksaan yang sedang mendera fisik dan psikisnya.


Pertanyaan yang paling relevan diajukan adalah: Kenapa sosok Bilal yang telah dimerdekakan Abu Bakar lantas jadi sosok yang mulia di hadapan insan paling mulia, Muhammad Saw? Jawabannya adalah karena Rasul mengajarkan kepada kita bahwa kemerdekaan jiwa seseorang tentang nilai-nilai tauhid jauh lebih utama dari dunia dengan segala isinya.


Sehingga kini banyak fenomena munculnya mereka yang berpenampilan perlente dengan sejumlah gelar, namun jiwanya belum merdeka. Mereka tak ubahnya sebagai budak yang menuhankan hawa nafsunya. Sungguh ironis.


Bulan Agustus tahun 2000, mendiang WS. Rendra diundang mahasiswa ITB untuk berdiskusi tentang buku kecilnya yang berjudul "Rakyat Belum Merdeka": Sebuah Paradigma Budaya. Buku kecil dan tipis ini, berisi kurang dari seratus lima puluh halaman, ikut mencerahkan cakrawala dan khazanah kesusastraan di Indonesia sebagai intellectual enrichment (pengayaan intelektual).


Sebagai budayawan yang memiliki pandangan dan pemahaman banyak hal dalam cakrawala kesenimannya, namun belum ingin merasa paripurna atau tidak mau merasa sempurna dengan menyebut diri sebagai ‘Begawan’ atau ‘Empu’, "Si Burung Merak" memaparkan sembilan agenda untuk menjawab dan merangkum kenyataan temuannya bahwa rakyat belum merdeka.


#Narasiuntuksivilisasi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Salam...

Menuju peradaban yang diinginkan seluruh manusia, semestinya memenuhi siklus:  Refleksi sejarah, Konteks kekinian dan Gagasan masa depan. Dari ketiga unsur ini, ada satu kesamaan, yaitu kebutuhan akan narasi. Paling tidak, jangan sampai kita semua tersesat pada jalan yang berkebalikan, yakni alih-alih membangun peradaban, malah justru memundurkan peradaban karena salah dalam menerjemahkan   core   (inti) dari setiap unsur pembangun peradaban itu sendiri. Dalam Islam, kita mengenal istilah adab sebelum ilmu, ilmu sebelum 'amal dan menariknya kita perlu mengetahui sekaligus mengerjakan 'amaliyah yang menguatkan adab. Disinilah titik yang mempertemukan ketiganya, yaitu narasi.  Pembaca, selamat menikmati:  narasi untuk sivilisasi

MENGULIK ALASAN

  Epit Rahmayati (Coach Sekolah Kepenulisan Dakwah 2) Ia tersadar telah tertinggal dalam perang Tabuk. Bukan, bukan karena ketidak mampuannya ia tertinggal. Bahkan ia merasa dalam kondisi sangat prima dengan perbekalan memadai. Namun, ia tertinggal karena tak mampu menepis bisikan yang merayu, meniup-niupkan kata 'nanti', hingga ia benar-benar tertinggal! Ia malu, malu pada diri, malu pada sekitar dan tentu malu pada Allah dan Rasul-Nya. Dari sekian yang tertinggal kebanyakan orang-orang yang memang secara syar'i  diperbolehkan tinggal dan atau orang yang terindikasi dalam kemunafikan. Inginnya Ka'ab merangkai kata, menyusun ba'it. Pada saat Nabi meminta alasan. Ka'ab pasti sanggup, ia termasuk pemuka kaum, orator ulung pandai bernegosiasi. Tapi, tidak! Ka'ab tak kuasa. Lidahnya kelu tertahan nurani kejujuran. Ia tertunda dari Tabuk, karena terpesona keadaan, menjustifikasi kata 'nanti' hingga menyeret pada kelalaian. Ka’ab bin Mâlik, Hilal bin Umayy...

DERITA HASAD

 Epit Rahmayati (Coach Sekolah Kepenulisan Dakwah) Terpuruk dalam kubangan nista. Kala dengki menyentuh sukma. Memendam benci, di batas yang tak pernah pasti. Sampai pada rasa hasad melenyapkan belas asih. Meski Qabil sadar Habil adalah bagian nasabnya, bersaudara dari bapak yang sama. Namun nafsu amarah tak bisa dicegah. Tatkala persembahan Habil diterima, sementara pemberiannya terjelembab dalam kedustaan hati, tak laik uji.  "Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil), “Aku pasti membunuhmu! ” Berkata Habil, “Sesungguhnya Allâh hanya menerima (ibadah kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Maidah: 27) Angkara kian memuncak, saat iblis turut membisik prasangka. Nafsu melenyapkan Habil semakin menjadi. Akumulasi hasad menari di benak. Membangkit dendam, yang ...