Epit Rahmayati
( Coach Sekolah Kepenulisan Dakwah 2)
Miris!!!
Membaca surat kabar online beberapa bulan terakhir. Maraknya kasus pelecehan sesama jenis yang menyasar anak di bawah umur sangat memprihatinkan.
Modusnya mulai dari iming-iming sesuatu yang menjadi daya tarik anak sampai pada penculikan sesaat dalam hitungan jam. Lantas sang anak diantar kembali ke lokasi di mana ia diculik. Tentu saja dengan hasil investigasi terindikasi sudah dilakukan pelecehan terhadap sang anak.
Adalagi cara halus, membuka chanel komunitas tak wajar pada platform digital. Dengan dalih pertemanan, menggaet anak menjelang dewasa yang merasa kesepian dan atau mereka yang terdampak dari permasalahan orang tuanya.
Lebih sadis, kasus terbaru yang dilansir beberapa media terkait pelecehan masal sesama jenis dilakukan sebuah panti asuhan di wilayah Tangerang. Kejahatan menusuk sukma, membuat geram bukan kepalang. Alih-alih menyantuni, justru anak-anak yang diasuh diajarkan menjadi predator baru sebagai penyuka sesama jenis.
" Jumlah korban kekerasan seksual di panti asuhan di Tangerang, Banten, diperkirakan bisa mencapai lebih dari 40 anak. Pembiaran dari masyarakat dan lemahnya pengawasan pemerintah diduga membuat kekerasan seksual bisa terus berlangsung di sana selama setidaknya 18 tahun." (Dikutip dari media bbc. com edisi 10 Oktober 2024)
Meski awam, bagi saya ini terendus sebagai sebuah gerakan masif terencana. Motivasinya bukan sekedar pelampiasan atas penyimpangan orientasi seksual. Lebih jauh sebagai upaya memperluas komunitas kaum sodom dengan menggunakan cara-cara nista untuk menumbuhsuburkan predator baru. Muaranya jelas, tercipta suasana 'permakluman' pada keberadaan kaum ini, karena semakin meluasnya jejaring dengan bermunculannya pengikut baru.
Pertanyaannya kenapa banyak menyasar anak? Sederhana, karena bila tidak diterapi secara tuntas, luka batin anak yang menjadi korban kasus pelecehan sesama jenis, berpotensi melakukan dan menularkan hal sama kelak di masa yang akan datang.
"Diantara dua pelaku ini, pernah menjadi anak asuh di yayasan tersebut. Jadi korban ketua yayasan, dan jadi pelaku terhadap korban-korban lainnya," kata Kombes Pol. Zain Dwi Nugroho, saat konfrensi pers di Polres Metro Tangerang.
***
" Ya Rasul izinkan aku berzina!" Sontak suasana riuh, geger. Sebagian terhenyak, sebagian terheran-heran dan beberapa sahabat berusaha menghalangi langkah sang pemuda menghampiri Nabi saw. Rasulullah mengisyaratkan semua kembali tenang dan menitah sang pemuda untuk mendekat.
Setelah berhadapan setengah berbisik, Rasulullah bertanya "Wahai anak muda, apakah engkau suka bila perzinaan itu terjadi atas diri ibumu?" Pemuda ini menjawab, "Tidak. Demi Allah, biarlah Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu."
Kemudian Nabi saw bertanya lagi dengan pertanyaan yang sama jika perzinaan itu menimpa putrinya, saudara perempuannya pun bibinya. Sang pemuda menjawab lugas dengan jawaban yang sama pula "Tidak. Demi Allah, biarlah Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu."
"Wahai anak muda, ketahuilah bahwa tidak seorang pun juga rela terhadap perbuatan yang menodai kehormatan keluarganya."
Kemudian beliau meletakkan tangan beliau pada pemuda tersebut seraya berkata, "Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan peliharalah kemaluannya (jauhkan dari zina)." Sejak saat itu, sang pemuda, tak lagi berkeinginanan melakukan zina. ( Kisah diambil dari HR. Ahmad, dari Abu Umamah ra.)
Sungguh elok Nabi bereaksi, menghadapi lelaki belia dengan gejolak mudanya. Sikap Nabi tidak hanya mampu memadamkan panasnya bara di jiwa, namun menyejukan dan menenangkan. Membuat sang pemuda akhirnya menyadari kekhilafan pada diri.
Butiran hikmah senatiasa mengalir, dalam setiap ragam peristiwa bersama Nabi, pun dalam kisah ini. Setidaknya tiga poin dapat dipetik sebagai langkah efektif berkomunikasi, utamanya kepada para remaja.
1. Sentuhan Nabi tepat menyasar. Hati menyentuh hati. Tak terbetik rasa menyalahkan apalagi lontaran celaan. Yang ada empati, memposisikan selayak diri. Hingga kenyamanan terbangun, menggugah rasa mengungkap apa yang tersimpan di dada.
2. Mengawali dialog dengan intonasi rendah. Alunan nadanya membuat jiwa luluh, hingga mudah menerima dan diri merasa tak terpojok. Ruang komunikasi terbuka dua arah, terpancing dengan lontaran Nabi yang bersifat persuasif. Sejalan dengan ilmu psikologi modern, pada rentang ini, remaja ingin diperlakukan sejajar selaku patner selayak sahabat.
3. Tak terhenti sampai closing statment dalam dialog, Nabi mengiringi dengan untaian do'a. Menitip pada Dia yang Maha memiliki hati, untuk senantisa menjaga kekokohan tekad yang telah diupayakan dibentuk sebelumnya.
Sungguh, teramat jauh kita dari suri teladan Nabi saw dalam merespon ketika berkomunikasi. Tak heran, hari ini sebagian besar interaksi orang tua dengan anak seperti ada batas. Serasa garing , sekedar basa-basi, tanpa esensi. Remaja jadi kehilangan pegangan. Enggan bercerita, cukup memendam rasa atau mengumbar pada orang lain, asal nyaman sebagai tempat curahan. Iya kalau pas dapat orang yang bisa membimbing, kalau tidak?
Menjelang akil baligh, ternyata semakin tak mudah mengambil hati buah hati. Ketertarikan pada komunitas pertemanan lebih mendominasi. Ditambah pengaruh hormonal, membuat kondisi emosi remaja tidak stabil, cenderung negatif. Cepat merasa bosan, bingung dan sedih. Tak jarang langkah mengambil jarak dengan orang terdekat dilakukan, terlebih jika remaja merasa tidak mendapat penerimaan secara baik.
Pada fase peralihan menjadi dewasa, minimal anak masih bisa terbuka kepada orang tua dengan siapa ia bergaul dan beraktifitas sudah patut diapresiasi. Ini modal, sebagai satu celah masuk agar bisa membimbing generasi berpegang teguh pada prinsip kebenaran.
Apalagi di dunia penuh getah, merangkul generasi penerus menjadi sebuah prioritas. Tentu tak bijak mensteril anak dari lingkungan sosial. Paling memungkinkan menyuntikan imun kebaikan agar diri bisa lebih kuat terjaga dan mental siap bertarung untuk mengatakan 'tidak' pada setiap kemaksiatan yang menghampiri.
Fakta berbicara, kebanyakan kasus terkait problem remaja, pelecehan seksual diantaranya sulit terungkap. Kebanyak anak lebih memilih bungkam. Layaknya fenomena gunung es, yang muncul dipermukaan hanya secuil. Namun yang terpendam jauh lebih banyak. Kemandegan jalinan komunikasi antar anak dan keluarga khususnya orang tua, pada akhirnya mempersulit deteksi dini atas segala permasalahan, hingga solusi sebagai langkah antisipasi terlambat ditegakan.
Remaja adalah aset potensial, karenanya ia menjadi incaran banyak kalangan dengan berbagai ideologinya. Latar inilah yang menjadi tekad kiai Hasan untuk menyampaikan risalah secara spesifik kepada para pemuda.
"Karena itu, sejak dulu hingga sekarang pemuda merupakan pilar kebangkitan setiap bangsa, rahasia kekuatan dalam setiap kebangkitan, dan pengibar panji setiap ideologi."
#Narasiuntuksivilisasi
Referensi:
* Adhim, Fauzil, Mohammad, Bersikap Terhadap Anak,1996, Yogyakarta, Titian Ilahi Press
* 11 Kiat Berkomunikasi dengan Remaja, unicef[dot]org, 18 Februari 2023
* Wahyu, Lidwina, Menjalin Komunikasi Terbuka dengan Remaja, dalecarnigie[dot]id, 11 Juni 2017
Komentar
Posting Komentar