Djoko P. Abdullah
Kalau tragedi Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang oleh Huntington disebut sebagai blackflow of democracy (arus balik demokrasi). Maka peristiwa Reformasi 1998, seiring dengan jatuhnya rezim Orde Baru, dalam pandangan John L. Esposito masuk dalam proses political bubble (gelembung politik). Sementara George Sorensen memperkenalkan. Istilah standstill (berjalan di tempat), kemudian mengenalkan istilah “semi demokratis” atau “semi otoriter“ untuk menyebut suatu rezim antara demokratis dan otoriter. Atau rezim yang terjebak pada slogan reformasi birokrasi tapi tak memperlihatkan perubahan yang substansial atau signifikan. Sementara itu Yerry Lynn Karl mengistilahkannya dengan hybrid democracy (demokrasi hibrida).
Mau Kemana Kabinet Merah- Putih?
Wait and see adalah sikap paling bijak untuk mengomentari kabinet gembul ini. Kabinet paling tambun sepanjang sejarah orde baru sampai orde reformasi.
Bernard Shaw, pernah mengatakan, 'Political necessities sometimes turn out to be political mistakes" (kebutuhan politik terkadang menggiring kita pada kesalahan politik). Mungkin ini yang disebut dengan Political Bubble.
Kenapa Bubble politik? Karena isu politik telah merasuk ke semua kalangan, entah politikus, ASN, pedagang pasar, emak-emak arisan, calo di terminal dll, bahkan tersalurkan lewat digital space campaign. Termobilisasi dengan begitu cepatnya.
Salah satu risiko terburuk dari Political Bubble adalah politik yang tak terkendali dan berpotensi meledak kapan saja. Begitu meledak dia akan memunculkan polarisasi serta meninggalkan residu di mana-mana. Bahkan efek residunya berpotensi menjadi toxic politik di ruang-ruang kecil public space.
Dalam tinjauan sosial-historis Al-Qur’an, sebuah tatanan masyarakat sekurang-kurangnya memiliki dua kutub, Mustadh’afin dan mustakbirin. Mustadh’afin diwakili oleh para Nabi dan orang-orang yang lemah. Mereka yang mengalami ketertindasan secara kultural dan struktural, baik karena penindasan struktur kapitalisme lokal maupun internasional yang tidak adil. Banyak dari kelompok fakir dan miskin menjadi dhu’afa bukan karena kemalasan mereka. Tetapi menurut Al-Qur'an lebih luas lagi, yakni lebih ke sistem. Salah satu ayat yang berbicara tentang Mustadh’afin adalah surat An-Nisa ayat 75.
وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْل اللّٰهِ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاۤءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَآ اَخْرِجْنَا مِنْ هٰذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ اَهْلُهَاۚ وَاجْعَلْ لَّنَا مِنْ لَّدُنْكَ وَلِيًّاۚ وَاجْعَلْ لَّنَا مِنْ لَّدُنْكَ نَصِيْرًا
"Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan, maupun anak- anak yang berdoa, “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negerinya kami (Makkah) yang penduduknya zalim, berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.” ( QS. An-Nisa’:75).
Jika kita melihat kondisi saat ini sebagai contoh bangsa Palestina adalah termasuk dalam kategori ini. Negara besar seperti Amerika Serikat dan beberapa rezim monarki Arab bersatu membela Zionis Israel. Untuk menjajah Palestina. Sebagai muslim maka kita berkewajiban membela orang-orang tertindas ini. Dalam konteks Pancasila ini adalah implementasi sila ke-5.
Jika kita telusuri literatur kajian Islam, maka dengan mudah akan kita temukan konsep Mustadh’afin dioperasikan sebagai seruan moral kaum muslim untuk membela yang lemah. Wajar saja, karena memang konsep Mustadh’afin ada dalam Al-Qur’an, yang melalui itu, kira-kira Allah hendak mengatakan: "berjuanglah untuk mereka yang lemah, karena pembelaanmu terhadap siapapun yang lemah merupakan bagian dari jihad.”
Karena itu, penting bagi kita, lebih dari sekedar memahami konsep Mustadh’afin secara semantik. Namun harus meninjau kembali konsep ini dalam konteks kapitalisme modern. Setidaknya, ada beberapa persoalan penting yang harus ditinjau kembali atau kebutuhan untuk membincangkan kembali konsep ini. Selain untuk menanggapi persoalan-persoalan umat, juga agar konsep ini tidak sekedar menjadi lip service atau sekadar cerita remeh-temeh, tanpa mampu mengoperasikannya pada konteks zaman modern ini. Harus dikatakan dengan pahit, konsep Mustadh’afin yang melekat pada dirinya perspektif kelas hampir saja luput dari tema keislaman hari ini. Sebagian besar kajian sosial Islam belum akrab dengan persoalan kapitalisme yang sangat dominan dan hegemonik. Sehingga tak heran kalau dari kajian-kajian sosial Islam semacam itu sulit diharapkan mampu membidani lahirnya formula teoritik maupun praksis.
Risalah yang diemban oleh para utusan Allah, selain nilai-nilai Tauhid, juga untuk membebaskan kaum lemah dan tertindas dari kekejaman raja yang berkuasa kala itu. Pemberdayaan kaum lemah dan tertindas memang menjadi salah satu agenda utama ideologi Islam.
Dalam Al-Quran, ditemukan beberapa kisah para Nabi terdahulu dalam upaya membebaskan kaum Mustadh’afin dari penindasan penguasa zalim pada saat itu. Misalnya kisah Nabi Musa As. yang diutus untuk membebaskan Bani Israil dari perbudakan Fir'aun
وَنُرِيدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِين
"Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).” (QS. Al-Qashash:5)
Teks 'Alladzinastudh’ifu fi al-ardh' dalam ayat dji atas dengan jelas merujuk pada semua orang Mesir, baik yang beriman pada Allah maupun tidak, namun mereka dalam posisi diperbudak Fir’aun. Ini artinya yang disebut sebagai Mustadh’afin tak hanya mereka yang beriman pada Allah melainkan semua orang, apapun agamanya, yang secara langsung maupun tidak dilemahkan posisinya dan dilucuti martabatnya sebagai manusia. Dengan menyelamatkan muslim, otomatis non muslim dengan sendirinya akan terselamatkan karena watak Islam yang universal.
Sebagaimana telah kita singgung di depan, kajian-kajian Islam dan seluruh perbincangan ke-islaman kita masih terjebak pada problem identitas, yang secara keliru menempatkan perspektif perjuangan kepada Mustadh'afin sebagai sesuatu yang berada di luar problem identitas. Jika memang kaum muslimin mempunyai kerangka teologis yang bisa dijadikan sandaran bagi perjuangan sosial membela siapapun yang lemah, mengapa pada aspek perjuangan sosial-ekonomi justru tidak berkembang dalam tradisi pemikiran maupun gerakan Islam dibanding dengan persoalan-persoalan identitas?
Bukan bermaksud hendak mereduksi aspek universal Mustadh’afin, tapi faktanya, kegagalan kita mengoperasikan konsep ini sebagai analisis komprehensif, berujung pada tiadanya sikap politik yang jelas kaum muslimin atas berbagai penghisapan dan ketidakadilan. Ini setidaknya disebabkan karena cara kita menempatkan konsep Mustadh’afin sebatas perdebatan genit semantik an-sich. Hal ini menjadikan perjuangan kepada Mustadh’afin sebatas seruan moral yang kehilangan peran historisnya dalam mengubah tatanan hidup sosial yang timpang menjadi lebih berkeadilan dan egaliter.
Identifikasi ini bukanlah suatu omong kosong, karena dalam hampir semua sejarah Nabi dan Rasul yang menjadi fokus dalam perjuangan mereka adalah para budak dan kaum papa yang disebut Al-Qur’an sebagai fuqara' (fakir), dan masakin (orang miskin). Dua kelompok ini merupakan antitesa dengan kelas-kelas dominan yang disebut Al-Qur’an sebagai mala' (kaum elite), mutrafun (yang hidup mewah), dan mustakbirun (yang sombong atau takabbur). Bahkan tugas profetik Nabi Saw, tak sekedar hidup dengan latihan ruhaniah (asketis) secara individual. Namun lebih luas dari itu adalah menghapus praktik-praktik ekonomi eksploitatif yang dilakukan para elite Quraisy, demi mewujudkan nilai-nilai Islam dengan menciptakan tatanan sosial berkeadilan dan egaliter. Bahkan asketisme Nabi haruslah dimaknai sebagai kritik individual atas praktik-praktik eksploitatif yang dilakukan oleh para oligarki Quraisy. Maka tak heran, dalam Al-Qur’an, para pemberi utang dilarang mengambil kelebihan, dan bahkan Allah dan Rasul-Nya telah mengumumkan perang bagi orang yang tidak bisa meninggalkan sistem ribawi (QS. Al-Baqarah; 279)
Berdasarkan kajian beberapa ayat tentang pembelaan kepada kaum Mustadh’afin diperoleh epistimologi bahwa agama harus menjadi landasan, sumber dan gagasan dan aksinya untuk mengentaskan golongan lemah dan tertindas ini. Al-Qur'an mempunyai perhatian khusus terhadap kaum Mustadh’afin dan memandang masalah kemanusiaan merupakan persoalan yang sangat krusial dan penting dari segala bentuk persoalan yang ada. Perhatian Al-Qur'an kepada kaum Mustadh’afin merupakan bentuk perjuangan mulia yang pernah dilakukan oleh para Nabi terdahulu. Sehingga ini menjadi perhatian serius para perintis pergerakan dalam membangkitkan semangat juang revolusioner bangsa-bangsa terjajah dan tertindas.
Pada dasarnya dialektika dua kutub sedikit beririsan dengan dialektika yang juga dicetuskan oleh Karl Marx mengenai pertentangan antar kaum pemilik modal (borjuis) dengan kaum pekerja (proletar). Kaum pemilik modal senantiasa melecehkan dan memperbudak kaum pekerja demi memenuhi target produksi. Di lain pihak kaum pekerja selalu tertindas dan tidak memiliki akses terhadap kebutuhan dasar.
Dengan telak kita bisa menyaksikan bagaimana Al-Qur'an berbicara tentang tema kemanusiaan yang sangat mendasar, krusial, dan urgen, jauh mendahului dan melampaui apa yang digagas oleh Marx.
Kaum Mustadh’afin adalah manusia-manusia yang hidup dalam kemiskinan, kesengsaraan, kelemahan, ketidakberdayaan, ketertindasan, dan penderitaan yang tiada putus. Keberadaan mereka seakan merupakan realitas yang tidak pernah absen dalam sejarah peradaban manusia. Keberadaan mereka menjadi sangat kontras ketika hidup beririsan dengan kaum the have (aghniya') yang selalu lapang bahkan berkelebihan.
Fenomena adanya golongan lemah-kuat, kaya-miskin, dan pintar-bodoh saja itu tidak jadi masalah. Karena hal tersebut adalah aksioma kehidupan selagi tidak ada kezaliman, penganiayaan dan penindasan yang terjadi sebagai akibatnya. Dalam kenyataannya kita sering menyaksikan orang atau pihak lemah dianiaya oleh pihak kuat. Akhirnya berujung yang lemah makin lemah, yang kuat makin seenaknya.
Dalam hal ini, Islam dipahami sebagai sebuah pandangan dunia yang komprehensif, dan diposisikan sebagai “agama pembebasan” yang concern dengan isu-isu sosial-politik seperti penindasan diskriminasi, dan ketidakadilan. Spirit Islam sebagai ideologi pembebasan mendorong terjadinya revolusi masyarakat untuk membangun konstruksi peradaban baru yang progresif, partisipatif, tanpa penindasan dan ketidakadilan.
Setelah mengkonstruksi gagasan tentang ideologi Islam. Al-Qur'an menegaskan tentang urgensi perubahan yang hanya dapat digerakkan oleh masyarakat yang mempunyai ideologi yang kokoh.
Kita harus memiliki keyakinan yang kuat bahwa Islam mampu menggerakkan kesadaran masyarakat. Islam menjadi sebuah keniscayaan sebagai world view yang komprehensif. Sebuah grand design untuk merealisasikan potensi manusia semaksimal mungkin. baik secara individual maupun kolektif. Untuk tujuan makhluk secara keseluruhan. Di sinilah letaknya bahwa Islam sebagai Ideologi Pembebasan.
#Narasiuntuksivilisasi
Komentar
Posting Komentar