Langsung ke konten utama

AKHLAK DAN PERADABAN

 


Ratih Pradesitasari


Ada sebuah peribahasa melayu yang berbunyi "bahasa menunjukkan bangsa". Peribahasa ini merujuk pada pemahaman tentang identitas. Bagi masyarakat melayu saat itu, kata bangsa lebih diartikan sebagai ‘bangsawan’, orang-orang yang dianggap berada di golongan atas. Bisa jadi raja, kaum ningrat, maupun ulama yang strata sosialnya dianggap lebih tinggi daripada petani ataupun rakyat biasa. 


Namun di masa kini, dimana strata sosial sudah berkurang maknanya, bahasa masih berarti identitas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahasa memiliki arti sebagai lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Sedangkan identitas menurut Kamus Merriam-Webster merupakan ciri-ciri yang melekat dan tertanam dalam diri setiap manusia.  


Sebagai sebuah identitas dan cara untuk berinteraksi dan berkomunikasi, bahasa menawarkan kedudukannya tersendiri pada penggunanya. Berbahasa dengan sopan, santun, memilih diksi yang benar dan cara menyampaikan yang baik akan mendiferensiasi seseorang pada posisi berbeda dibandingkan seseorang memilih cara yang berkebalikan.  


Berbahasa dan bertutur kata yang baik juga adalah sebuah pilihan identitas, sehingga dari sana akan muncul penilaian-penilaian, juga pemosisian. Seseorang yang memilih sesuatu yang baik tentu akan mendapat nilai yang baik, yang kemudian akan memberinya posisi sebagai bagian dari komunitas orang-orang baik. Pun juga sebaliknya. Itu adalah konsekuensi dari suatu pilihan.  


Maka dalam Islam, ajaran tentang akhlak dan amal perbuatan baik, adalah bahasan utama dalam Al-Quran, dan juga menjadi fokus dakwah Nabi Muhammad SAW. 


“ Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi), demikian Rasulullah pernah sampaikan, agar kita betul-betul concern dalam upaya memperbaiki akhlak, memperindah tutur bahasa kita dan menjaga adab-adabnya dalam berbicara.  


Akhlak manusia bisa tercermin, salah satunya melalui bahasa yang disampaikan, baik secara lisan maupun gesture badan. 


Suatu ketika Nabi pernah berpaling dan bermuka masam kepada seorang sahabat, yang maaf tuna netra, yang menyela beliau ketika sedang berdakwah kepada  elite Quraisy. Yang terjadi selanjutnya adalah Nabi langsung mendapat teguran dari Allah. Bagi kita, mungkin hal itu adalah reaksi yang biasa akan dilakukan ketika berada dalam rapat penting dan ada interupsi datang, yakni berpaling dan bermuka masam. Namun bagi Rasulullah, Allah tak hendak membiarkannya agar beliau tetap terjaga dengan standar akhlak paling tinggi. 


Karena demikian  pentingnya akhlak, bahkan Rasulullah juga pernah bersabda, “ Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling indah  akhlaknya di antara kalian .” (HR. Tirmidzi) 


Allah akan berikan salah satu tempat  terbaik di hari kiamat, dalam posisi berdekatan dengan Rasulullah, melalui jalan penjagaan akhlak. Jauh sebelumnya, di dunia ini, Allah bahkan pernah membukakan pintu tegaknya Peradaban Islam disebabkan akhlak umatnya yang saat itu berada dalam puncak kebaikan.


Menjadi muslim harusnya terkait dan terikat erat dengan menjadi bagian dari komunitas orang-orang baik. Sebab akhlak yang baik adalah identitas agama ini. Bila di masa lampau Islam pernah jaya, maka suatu saat umat ini akan mampu bangkit kembali dengan dimulai dari perbaikan lisan sikap dan akhlak kita. Sehingga kita mampu membuktikan bahwa Al-Islam ya'lu wa laa yu'la alaih. Wallahu a'lam bisshawab.


#Narasiuntuksivilisasi


Referensi :

1. www.balairungpress.com

2. kemenag.go.id

3. Muslim.or.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Salam...

Menuju peradaban yang diinginkan seluruh manusia, semestinya memenuhi siklus:  Refleksi sejarah, Konteks kekinian dan Gagasan masa depan. Dari ketiga unsur ini, ada satu kesamaan, yaitu kebutuhan akan narasi. Paling tidak, jangan sampai kita semua tersesat pada jalan yang berkebalikan, yakni alih-alih membangun peradaban, malah justru memundurkan peradaban karena salah dalam menerjemahkan   core   (inti) dari setiap unsur pembangun peradaban itu sendiri. Dalam Islam, kita mengenal istilah adab sebelum ilmu, ilmu sebelum 'amal dan menariknya kita perlu mengetahui sekaligus mengerjakan 'amaliyah yang menguatkan adab. Disinilah titik yang mempertemukan ketiganya, yaitu narasi.  Pembaca, selamat menikmati:  narasi untuk sivilisasi

MENGULIK ALASAN

  Epit Rahmayati (Coach Sekolah Kepenulisan Dakwah 2) Ia tersadar telah tertinggal dalam perang Tabuk. Bukan, bukan karena ketidak mampuannya ia tertinggal. Bahkan ia merasa dalam kondisi sangat prima dengan perbekalan memadai. Namun, ia tertinggal karena tak mampu menepis bisikan yang merayu, meniup-niupkan kata 'nanti', hingga ia benar-benar tertinggal! Ia malu, malu pada diri, malu pada sekitar dan tentu malu pada Allah dan Rasul-Nya. Dari sekian yang tertinggal kebanyakan orang-orang yang memang secara syar'i  diperbolehkan tinggal dan atau orang yang terindikasi dalam kemunafikan. Inginnya Ka'ab merangkai kata, menyusun ba'it. Pada saat Nabi meminta alasan. Ka'ab pasti sanggup, ia termasuk pemuka kaum, orator ulung pandai bernegosiasi. Tapi, tidak! Ka'ab tak kuasa. Lidahnya kelu tertahan nurani kejujuran. Ia tertunda dari Tabuk, karena terpesona keadaan, menjustifikasi kata 'nanti' hingga menyeret pada kelalaian. Ka’ab bin Mâlik, Hilal bin Umayy...

DERITA HASAD

 Epit Rahmayati (Coach Sekolah Kepenulisan Dakwah) Terpuruk dalam kubangan nista. Kala dengki menyentuh sukma. Memendam benci, di batas yang tak pernah pasti. Sampai pada rasa hasad melenyapkan belas asih. Meski Qabil sadar Habil adalah bagian nasabnya, bersaudara dari bapak yang sama. Namun nafsu amarah tak bisa dicegah. Tatkala persembahan Habil diterima, sementara pemberiannya terjelembab dalam kedustaan hati, tak laik uji.  "Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil), “Aku pasti membunuhmu! ” Berkata Habil, “Sesungguhnya Allâh hanya menerima (ibadah kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Maidah: 27) Angkara kian memuncak, saat iblis turut membisik prasangka. Nafsu melenyapkan Habil semakin menjadi. Akumulasi hasad menari di benak. Membangkit dendam, yang ...