Langsung ke konten utama

SENJA KALA di LANGIT GAZA

 



 Syafruddin S

( Participants Sekolah Kepenulisan Dakwah 2)


Deru debu biru menghempaskan sosok itu. Napas harum mentosnya menghentak tajam. Sejenak dia mengatur ritmenya sembari membalut luka tembak lengan tangan kanan nya yang nyaris putus dengan seutas kawat. Baginya luka tak terpisahkan dari jiwa Gaza. Gaza raga dan jiwanya sekuat tenaga bertahan diantara reruntuhan puingnya. Drone yang mengitarinya dihempaskan dengan sebilah tongkat. Sebutir peluru sniper menghembuskan napasnya dengan senyuman.

***

Aku terhenyak dalam duka lara yang menghimpit. Gejolak darah mudaku memerah saga. Antara hampa dan realita. "Benarkah sang Komandan telah syahid !?," tanyaku dalam diri tak percaya.

"Ya Allah ya Rabbi...," teriakan bersuara serak diiringi isak tangis tak berarak menghentak kebisuan ku. Ahmed terhenyak di antara sofa butut tak berbentuk. Tangisnya kian berderai. "Tenangkan dirimu Ahmed..., ada apa !?," sapaku penuh keheranan. "Sang Komandan....sang Komandan telah syahid...," serunya dengan lunglai. "Jangan dusta kau... Ahmed...!!!," seruku sambil membentak keras. "Abu Obaida mengumumkannya...," lirihnya dengan isak yang kering dan memeluk tubuhku sekuat nya."Innalilahi wa innailaihi rajiun...," bisik ku terhenyak lunglai dalam diam. Hening dan sunyi. 

***

Front Jabalia Gaza Utara luluh lantah tersapu bomber-bomber kera biadab. Harum semerbak darah syuhada membasahinya. Bunga dan tamannya berlarian entah kemana mencari tempat penyemaian tersembunyi. Pongah dan durjananya dunia raja-raja kecil Arab menutup mata hati tanpa rasa malu menenggelamkan semua harapan. "Pergilah kalian semua, dan biarkan Allah SWT bersama kami. Tunggulah pengadilan-NYA sebagai pembalasan...," teriak seorang ibu tua diantara kerumunan orang -orang yang tak menghampirinya.

Itulah pemandangan yang kutatap pagi ini. Pemandangan penuh ketakutan dan harapan. Ketakutan punahnya generasi peradaban dan pengharapan kepada-NYA Sang Penolong sejati. 

Front ini jadi tugasku bersama Ahmed dan tiga orang teman lain nya.

***

"Ahmed dan Ghifari kalian ambil posisi kanan. Aqil, dan Qassam ambil posisi kiri. Aku ambil posisi depan," perintah komandoku pada mereka.

Satu peleton tentara IDF kera dan 2 tank Merkava sekilas melintas pas di depan kami. Kami sudah mengintainya sejak subuh tadi. "Kita hadang dan hancurkan mereka persis di pos Tulkarem. Oke...!!!," komandoku lagi.

Napas kami pun memburu. Syahid,  atau mulia. Ahmed dan Ghifari memuntahkan peluru AK 47-nya tanpa henti. Tentara kera terkapar mati. Aqil dan Qassam menembakkan bazoka Yasin 105-nya ke arah Merkava, dan booom.... Merkava terpelanting ke udara ambruk tak berbentuk. Tugasku menuntaskannya. Semburan peluru AK 47 dan 5 granat tangan memporakporandakan IDF serta merta. Mereka pun membisu. Mati tak berwujud lagi.

"Allahu Akbar... Allahu Akbar... Akbar....!!!. Takbir kami mengguncang langit Gaza. Para malaikat pun tersenyum manis sekali. Kami berpelukan dengan penuh kehangatan.

"Untukmu sang Komandan Yahya Sinwar kami persembahkan...," seruan hati kami terdalam seraya istighfar.


#Narasiuntuksivilisasi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Salam...

Menuju peradaban yang diinginkan seluruh manusia, semestinya memenuhi siklus:  Refleksi sejarah, Konteks kekinian dan Gagasan masa depan. Dari ketiga unsur ini, ada satu kesamaan, yaitu kebutuhan akan narasi. Paling tidak, jangan sampai kita semua tersesat pada jalan yang berkebalikan, yakni alih-alih membangun peradaban, malah justru memundurkan peradaban karena salah dalam menerjemahkan   core   (inti) dari setiap unsur pembangun peradaban itu sendiri. Dalam Islam, kita mengenal istilah adab sebelum ilmu, ilmu sebelum 'amal dan menariknya kita perlu mengetahui sekaligus mengerjakan 'amaliyah yang menguatkan adab. Disinilah titik yang mempertemukan ketiganya, yaitu narasi.  Pembaca, selamat menikmati:  narasi untuk sivilisasi

MENGULIK ALASAN

  Epit Rahmayati (Coach Sekolah Kepenulisan Dakwah 2) Ia tersadar telah tertinggal dalam perang Tabuk. Bukan, bukan karena ketidak mampuannya ia tertinggal. Bahkan ia merasa dalam kondisi sangat prima dengan perbekalan memadai. Namun, ia tertinggal karena tak mampu menepis bisikan yang merayu, meniup-niupkan kata 'nanti', hingga ia benar-benar tertinggal! Ia malu, malu pada diri, malu pada sekitar dan tentu malu pada Allah dan Rasul-Nya. Dari sekian yang tertinggal kebanyakan orang-orang yang memang secara syar'i  diperbolehkan tinggal dan atau orang yang terindikasi dalam kemunafikan. Inginnya Ka'ab merangkai kata, menyusun ba'it. Pada saat Nabi meminta alasan. Ka'ab pasti sanggup, ia termasuk pemuka kaum, orator ulung pandai bernegosiasi. Tapi, tidak! Ka'ab tak kuasa. Lidahnya kelu tertahan nurani kejujuran. Ia tertunda dari Tabuk, karena terpesona keadaan, menjustifikasi kata 'nanti' hingga menyeret pada kelalaian. Ka’ab bin Mâlik, Hilal bin Umayy...

DERITA HASAD

 Epit Rahmayati (Coach Sekolah Kepenulisan Dakwah) Terpuruk dalam kubangan nista. Kala dengki menyentuh sukma. Memendam benci, di batas yang tak pernah pasti. Sampai pada rasa hasad melenyapkan belas asih. Meski Qabil sadar Habil adalah bagian nasabnya, bersaudara dari bapak yang sama. Namun nafsu amarah tak bisa dicegah. Tatkala persembahan Habil diterima, sementara pemberiannya terjelembab dalam kedustaan hati, tak laik uji.  "Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil), “Aku pasti membunuhmu! ” Berkata Habil, “Sesungguhnya Allâh hanya menerima (ibadah kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Maidah: 27) Angkara kian memuncak, saat iblis turut membisik prasangka. Nafsu melenyapkan Habil semakin menjadi. Akumulasi hasad menari di benak. Membangkit dendam, yang ...