Sobari AR
(Mantan Jurnalis Senior)
Hidup sebagai muslim, terkadang sulit mempertemukan antara keinginan dan kenyataan. Kepinginnya selamat di dunia dan akhirat, nyatanya kita banyak dosa. Maunya rajin ibadah dan meningkatkan taqwa, tapi kadang sulit menghindari maksiat. Bertekad jadi mujahid dakwah, tapi kepentingan duniawi selalu mengejar kita.
Sejatinya kita ini umat terbaik (Khairu Ummah) di antara umat-umat lain di atas permukaan bumi. Kenapa? Karena kita ditugaskan Allah SWT untuk menebarkan kebajikan dan mencegah kemunkaran (amar ma’ruf nahi munkar). Jalan hidup kita harusnya selalu di atas rel dakwah. Sampaikan walau satu ayat,” begitu pesan Rasulullah SAW.
Menyukseskan dakwah itu fardu ain (kewajiban setiap muslim), “Nahnu du’at qobla kulli syai’in” (kita ini da’i sebelum menjadi apapun). Setiap muslim adalah aktifis dakwah, penolong agama Allah, kalo perlu jadi pejuang Islam sejati. Karena cita-cita muslim tertinggi adalah “hidup mulia atau mati syahid” (QS. Ali imran: 110, Ashaff: 14, Muhammad: 7).
Tapi dalam realitas keseharian, akibat godaan duniawi, iman kita sering naik-turun. Lantaran stabilitas ekonomi keluarga yang tidak menentu, bikin kita suka cawe-cawe sana-sini tak peduli halal, subhat & haram. Kita sering dibikin minder melihat kemakmuran orang lain, akhirnya secara tak sadar terjebak pola pikir materialisme, minimal mata duitan.
Ini konsekwensi hidup di negara berkembang. Nah, buahnya sering dipanen “Sembilan Naga”. Maka tak sedikit kaum muslimin Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Saat negok ke Barat, dia terkagum-kagum dengan kesejahteraan orang Eropa & Amerika. Hidup mewah dan kaya raya jadi impian sepanjang hayat. Tak aneh jika gaya hidup Barat dijiplak abis, mulai busana, makanan, hiburan (food, fashion & fun). Alhasil, demi gaya hidup modern (lifestyle), tanpa disadari terjebak Culture strike (serangan budaya).
Belakangan, serangan itu bukan hanya dari Barat, tapi beberapa negara hedon di Asia, seperti budaya K-Pop Korea juga makin populer. Padahal kita sudah diingatkan Allah SWT agar tidak terpesona dengan kemakmuran orang kafir. (QS. Al-Hijr: 88).
Beginilah dilema hidup kaum muslimin saat ini, malah mungkin terjadi sejak abad 12 M lalu, saat kejayaan umat Islam mulai runtuh akibat Perang Salib sampai tumbangnya kekhalifahan Abbasyiah di Baghdad oleh serangan tentara Mongol. Kegemilangan peradaban Islam selama 8 abad, redup sudah. Menurut Al-Qur’an, hal ini merupakan sunnatullah (ketetapan Allah), bahwa kejayaan suatu kaum memang dipergilirkan oleh Allah SWT. (QS. Ali Imran: 140).
Harus diakui, umat Islam di seantero dunia masih terpuruk, baik secara politik, peradaban, maupun ekonomi. Kita jadi umat yang minder, terjajah dan kurang percaya diri. Al-Islamu Mahjubun bil muslimin (Islam terkubur oleh umatnya sendiri). Ajaran Islam yang ya’lu wala yu’la alaih (tinggi dan tak ada yang menandingi ketinggiannya) tak lagi menjadi kebanggaan. Kita sungkan menyebut Isyhadu bianna muslimun (saksikan saya ini muslim), bukan cuma terjadi di kalangan bawah, tapi juga elit. Bukan hanya kalangan awam, tapi sampai ulama.
Fenomena ini di mata aktifis dakwah, mestinya jadi ladang amal, dan perjuangan dakwah yang tak kenal lelah, sampai bisa merebut kembali izul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin). Tapi sayang, dalam kancah perjuangan ulama, cedekiawan muslim, tokoh politik & ormas Islam, terdapat beragam perbedaan pandangan & strategi yang kadang kontra produktif. Ada yang radikal, fundamentalis, moderat, bahkan hipokrit. Variannya juga macam-macan, ada yang sumbu pendek, garis lurus, kompromis, kolaboratif, sinkritis, dan kanan-kiri oke.
Realitas seperti inilah yang bikin bingung, terutama di negeri kita sendiri. Katanya Indonesia mayoritas Islam, tapi partai favorit bukan partai Islam. Presiden sih memang muslim, tapi kenapa aktifis Islam sering dijadiin musuh bebuyutan. Lihat saja kelakuan Soekarno, Soeharto, Megawati, SBY dan Jokowi. Pengecualian mungkin Habibie dan Gus Dur, sayang keduanya berkuasa cuma sebentar. Nah, kita lihat nanti gimana Prabowo?
Boleh dibilang elit politik kita didominasi kaum sekular yang alergi ideologi Islam. Mereka dengan bangga berargumentasi, Indonesia ini negara kebhinekaan. Punya ragam budaya, etnis, agama dan kepercayaan. Tidak boleh satu golongan pun yang mendominasi, karena kita negara demokrasi. Buang istilah mayoritas dan minoritas. Paling pas, Indonesia ini negara pluralis.
Mereka lupa sejarah perjuangan bangsa kita. Gurunya Soekarno, proklamator RI, itu ulama, Haji Oemar Said Cokroaminoto. Ormas dan orpol pertama berdiri itu Syarikat Islam. Yang bikin Belanda kocar-kacir balik ke kampung, itu teriakan “Allahu Akbar”. Yang menyusun UUD’45 dan Teks Pancasila dengan urutan yang rasional seperti sekarang (bukan Teks bikinan Soekarno), ya kesepakatan dengan ulama. Jadi mayoritas Islam di Indonesia ini sudah takdir Allah. Wajar jika mayoritas jadi prioritas.
Soal ragam suku & budaya itu juga takdir (QS. Al-Hujurat: 13). Supaya saling kenal dan toleransi. Di masa Rasulullah SAW di Makkah dan Madinah, di sana kurang pluralis apa? Agama dan kepercayaan banyak, suku juga lebih banyak lagi. Tapi alhamdulillah, setelah futuh makkah mereka disatukan oleh Islam. Kaum Yahudi, Nasani dan ajaran lainnya tidak diganggu dan terzalimi. Karena Islam sudah lebih dulu khatam konsep toleransi.
Beda di Indonesia, kita kaum mayoritas serasa minoritas. Katanya 90 % penduduknya muslm (sekarang udah turun 85 %), tapi yang diframing sebagai "biang kerok" negara selalu umat Islam. Lihat tuh Peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, Poso, di KM 50, dst, dst, sudah ratusan ribu umat Islam dibantai. Belum lagi tuduhan fundamentalis, radikal radikul, teroris, intoleran, anti NKRI, bla bla bla… pasti telunjuknya mengarah ke umat Islam. Tidak terhitung ulama, habaib, dan tokoh-tokoh penting Islam, sudah banyak banget yang dijeblosin penjara. Bahkan urusan jilbab doang, sampe sekarang masih saja jadi persoalan. Gila ga?
Ada yang bilang, yang suka bikin rusuh dan adu domba umat Islam, itu kerjaannya intel sejak zaman Soeharto. Buat apa? Supaya para perampok uang negara & sumber daya alam Indonesia tidak jadi fokus perhatian umat Islam. Tidak diusut tuntas, umat Islam yang kritis lagi sibuk konflik internal. Di sisi lain, kelompok non-Islam yang udah nyata-nyata bunuhin TNI, bakar masjid, mau bikin negara sendiri, sampe sekarang cuma disebut KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata). Busyet deh … ga adil banget sih Lu?
Udah pada lupa ya sejarah heroisme umat Islam saat melawan penjajah kafir zalim Belanda? Jangan-jangan kisah perjuangan Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Panglima Soedirman, Bung Tomo, KH. Hasyim Asy’ari dan ribuan pejuang Islam lainnya sudah tak diajarkan lagi di sekolah. Generasi milenial dan Gen Z, mungkin sudah tak ngerti apa itu isi Piagam Jakarta, Resolusi Jihad, dll. Generasi muda Islam hari ini lebih dominan dijejali doktrin-doktrin kebinekaan, toleransi, pluralisme, NKRI Harga Mati, moderasi agama, kesetaraan gender, … tanpa disinkronisasi ajaran Islam. Akhirnya, kaum munafikin Indonesia pada ngaku-ngaku paling NKRI, paling toleran, paling Pancasilais, bahkan udah berani ngusir para Habaib balik ke Yaman. Hey, tau ga tanpa Habaib, pendakwah dari Arab, dan ulama yang belajar ke Arab, tak mungkin penjajah zalim Belanda bisa diusir dari Indonesia. Faham kan?
Sampai di sini Saya ingin mengajak kita semua merenung, seraya mentadabburi Al-Qur’an ayat demi ayat, bahwa dakwah Islam di negeri kita ini masih jauh dari harapan. Masih banyak orang Islam yang masih asing sama agamanya sendiri. Mungkin karena malas mengkaji Islam, merasa cukup mengamalkan Islam hanya rukun-rukunnya saja (syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji). Padahal kita dituntut terus berusaha jadi muslim kaffah agar tidak terjerumus jebakan setan Sang penipu (QS. Al-Baqarah: 208).
Info Al-Qur’an, setan itu bisa berjenis jin & manusia, dan wajib dijadikan musuh abadi, karena bujukannya sangat halus. Argumentasinya seolah-olah cerdas, tapi menyesatkan.
“Apa sih salahnya mengucapkan Natal? Itu kan menghargai orang, toleransi.” Bisiknya. Padahal kita ngerti tafsir QS. Al-Kafirun.
“Buat apa sih boikot produk Israel, Amerika & Eropa? Bikin repot kalau mau belanja. Toh, produk lain ga ada yang berkualitas.” Kata setan lainnya. Padahal semua penduduk bumi tahu biadabnya Zionis.
“Apa salahnya saya pilih pemimpin non-muslim yang jujur, dibanding pemimpin muslim yang korup?” protes setan berjenis manusia. Hey, sudah tadabbur QS. Ali Imran: 28, dan Al-Maidah: 51, lom?
“Kenapa sih harus fanatik memilih paslon partai Islam, biar dari partai sekular kan dia muslim juga? Kan Lumayan, gue kecipratan.” Kata tetangga setan oportunis. Lah, ente belum denger hadits Nabi, “Memilih sesuatu, minimal yang lebih sedikit keburukkannya". Gitu.
Cukup saya kira, curhatan saya. Mau setuju syukur, kalo ga ya terserah. Saya kan cuma al-fakir yang takut sama pengadilan. Jangankan pengadilan Allah, pengadilan negeri aja ga berani. ***
#Narasiuntuksivilisasi
Komentar
Posting Komentar